“Si Binatang Jalang”
7 Juli 1943. Hari ini, 64 tahun silam, Chairil Anwar tampil berpidato di depan forum Angkatan Baru Pusat Kebudayaan. Pidatonya yang ringkas dan tajam itu bisa dibaca sebagai salah satu manifesto kepenyairan Chairil, lengkap dengan keterangan seperti apa Chairil memandang dan memerlakukan kehidupan.
Dalam pidatonya, Chairil terutama membicarakan arti penting vitalitas individu sebagai “motor penggerak” kepenyairan. Tetapi, Chairil juga menegaskan, vitalitas yang individualistik itu juga penting untuk terus menerus memompakan semangat perjuangan
Vitalitas, kata Chairil, “Menjadi sesuatu yang tak bisa dielakkan dalam mencapai suatu keindahan. Dalam seni, vitalitas itu Chaotischvoorstadium, keindahan kosmich eindstadium.”
Vitalitas itulah yang akan membuat setiap seniman menjadi para perintis zaman, atau dalam kata-kata Chairil sendiri, “''Tiap seniman harus seorang perintis jalan. Seniman ialah tanda dari hidup yang melepas bebas.''
Kepada para pengritik puisi-puisinya, Chairil memberi jawaban tegas: ''Pujangga muda akan datang. Pemeriksa yang cermat, pengupas, pengikis sampai ke saripati sesuatu. Segalanya, sampai ke tangannya dan merasai gores bedahan pisaunya yang berkilat.''
Ditopang oleh keyakinan macam itulah, puisi-puisi Chairil menguarkan vitalitas invidual yang kuat. Individualisme, bagi Chairil, bukan hanya jalan estetik belaka, tetapi juga menjadi jalan hidup.
Vitalitas kebudayaan Barat, yang dalam diri Soetan Takdir Alisjahbana baru menjadi teori dan belum mengalir dalam karya-karya sastranya sendiri, terejawantah dengan penuh dalam puisi-puisi Chairil. Puisi-puisi Chairil pula yang membuat “Surat Kepercayaan Gelanggang” menemukan juru bicaranya yang terhebat. Tanpa puisi Chairil, tulis Sutardji Clazoum Bachri, “Surat Kepercayaan Gelanggang” itu hanya akan tampak sebagai macan ompong yang indah dan gagah belangnya saja.
Uniknya, individualisme yang vitalistik itu bisa sejalan dengan semangat kolektivisme yang juga sedang menggejala. Semangat kolektivisme inilah yang menjadi mata air dari “perlawanan bersama” para pemuda di sejumlah front pertempuran di banyak kota di Indonesia. Itulah yang tampak dari puisi-puisi Chairil yang menampakkan patriotisme yang menggelora, seperti puisi “Krawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno” hingga Diponegoro.
Chairil memang mati dalam usia yang begitu muda, tepatnya pada 28 April 1949 dalam usia 27 tahun. Tetapi, nama, karya dan pengaruhnya melintasi zaman-zaman baru yang tak sempat dinikmati Chairil sendiri.
Ambil contoh puisi “Aku” atau yang dalam versi lain berjudul “Semangat”. Hampir bisa dipastikan, setiap manusia Indonesia yang pernah mengenyam bangku sekolah pasti akan mengenal puisi itu berikut pengarangnya. Banyak di antara mereka yang masih ingat beberapa baris kalimat dari puisi itu.
Puisi “Aku” adalah contoh pendobrakan “kode berbahasa” dalam bahasa Indonesia dari alam Melayu yang masih menguarkan aura arkaik ala Amir Hamzah menuju “alam Indonesia” yang penuh vitalitas. Chairil bisa dibilang memporak-porandakan bahasa Melayu. Puisi-puisinya bisa dibaca sebagai alternatif linguistik yang benar-benar baru. Kata-kata dalam puisi-puisi Chairil terlihat sangat lugas, solid dan kuat.
Bagaimana pun, Chairil Anwar sebagai penyair memang lebh fasih menggarap tema-tema yang lebih personal-individual. Puisi “Aku”, puisi terbaik dalam sejarah kesusasteraan Indonesia modern, pada mulanya merupakan reaksi pribadi Chairil ketika menghadapi masalah keluarga—sebuah teks personal semata-mata. Puisi itu menjadi teks sastra setelah berhadapan dengan publik dan di-beatifikasi HB Jassin.
Kekariban pada tema itu pula yang membikin Chairil “mampu” meramalkan kematiannya sendiri, sehingga ia kemudian “berdamai” dengan estetika lama yang ia berontaki. Ia kembali kepada “keteraturan” dalam sajak tanpa judul yang kemudian dikenal dengan judul Derai-derai Cemara.
No comments:
Post a Comment