“Stem” ala BPUPKI
10 Juli 1945. Hari ini, 60 tahun silam, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mulai menggelar sidang ke-II. Sidang ke-II BPUPKI ini digelar setelah para anggota menikmati reses selama hampir enam pekan.
Dalam masa reses antara Sidang I BPUPKI dengan Sidang II BPUPKI, dibentuk panitia kecil yang diketuai Ir. Soekarno. Panitia yang dinamai Panitia Sembilan ditugaskan menyusun draft dasar negara yang akan diajukan pada Sidang II BPUPKI.
Pada pembukaan Sidang II BPUPKI, Ir. Soekarno melaporkan bahwa Panitia Sembilan yang ditugaskan menyusun draft dasar negara telah berhasil menyelesaikan tugasnya. Draft yang disusun Panitia Sembilan inilah yang dikenal dengan Piagam Jakarta.
Dengan segala macam perdebatan dan keberatan yang diajukan, Piagam Jakarta kemudian disepakati pada 16 Juni 1945. Perubahan mendasar muncul pada 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu dengan dihapusnya frase “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari UUD 1945.
Sidang II BPUPKI membahas materi-materi yang sangat penting, di antaranya mengenai bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, sistem hukum dan peradilan, hingga soal pendidikan dan pengajaran.
Dalam rapat ini dibentuk sejumlah “panitia ad hoc” yaitu Panitia Perancang Undang-Undang Dasar beranggotakan 19 orang dengan ketua Ir. Soekarno, Panitia Pembelaan Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso dan Panitia Ekonomi dan Keuangan diketuai oleh Mohammad Hatta.
Pada Sidang II perdebatan berlangsung dengan lebih tajam dan dengan kualitas yang tinggi, melampaui Sidang I yang lebih banyak diisi oleh monolog-monolog panjang.
Saking seru dan tajamnya perdebatan itu, Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat, seorang aristokrat Jawa, berkali-kali mesti mengetuk palu dan menyudahi perdebatan dengan kata-katanya yang terkenal: “Saya stem saja.” (Itu artinya, voting menjadi jalan keluar).
Salah satu debat yang terkenal adalah antara Yamin-Hatta dengan Soepomo-Soekarno ihwal perlu tidaknya hak-hak dasar warga negara dicantumkan dalam konstitusi. Pasal 28 UUD 1945 bisa disebut sebagai kerja keras Hatta-Yamin untuk meminimalkan ide ultranasionalis Soekarno-Soepomo.
Hatta nyaris sendirian berargumen sewaktu mengusulkan sistem federalisme. Kesepakatan yang muncul, kita tahu, adalah konsepsi unitarisme yang kelak muncul dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di periode ini pula terjadi debat yang panjang ihwal wilayah Indonesia. Hatta, yang bergandengan tangan dengan Yamin dalam soal hak-hak warga negara, mesti berpisah jalan dengan koleganya dari Sumatera Barat itu. Hatta bersikeras untuk tidak memasukkan Papua ke dalam wilayah Indonesia. Selisih ras, budaya, bahasa dan etnik menjadi salah satu pokok argumen Hatta untuk menolak dimasukkannya Papua.
Yamin bersikukuh memasukkan Papua. Soekarno, yang sependapat dengan Yamin, membiarkan Yamin mendominasi perdebatan dengan pengetahuannya yang luas ihwal sejarah nusantara. Usulan Yamin akhirnya tak mampu dibendung oleh Hatta.
Akhirnya disepakati bahwa wilayah Indonesia meliputi daerah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda, meliputi Malaya (Sumatera), Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya. Doktrin Pax Nerlandica yang dirumuskan van Heutsz diadopsi sedemikian rupa sebagai wilayah Indonesia.
Dengan berkali-kali menggunakan gaya “kita stem saja” itulah hal-hal paling mendasar bagi sebuah negara berhasil diputuskan oleh para anggota BPUPKI. Debat-debat panjang di antara mereka, yang beberapa di antaranya mesti di-stem oleh Radjiman, digerakkan oleh (dalam kata-kata sejarawan Taufik Badullah) “sense of destiny”.
Mereka berkata, berdiskusi dan berdebat dalam kesadaran bahwa banyak hal dari masa depan bangsa akan ditentukan oleh skenario yang akan dan telah mereka rumuskan.
No comments:
Post a Comment